Kamis, 27 Januari 2011

Renungan Tahun Baru

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan silih bergantinya bulan dan tahun, siang dan malam serta hari dengan penuh hikmah. Allah 'Azza wa Jalla menjadikan ada siang dan malam agar menjadi bendahara yang menyimpan amal-amal. Menjadi fase-fase berkembangnya setiap ajal. Menjadi lahan bagi setiap manusia untuk melakukan kebaikan maupun keburukan. Hal itu terus terjadi sampai usai dan habisnya ajal mereka.

Allah 'Azza wa Jalla juga menjadikan peredaran masa penuh dengan rahmat. Di antara rahmat-Nya ialah Dia 'Azza wa Jalla jadikan siang dan malam yang masing-masing memiliki tanda-tanda yang berbeda. Tanda-tanda siang ialah matahari sedangkan tanda-tanda malam ialah bulan. Dia 'Azza wa Jalla telah menjadikan malam agar manusia merasakan ketenangan di dalamnya, dan telah menjadikan siang terang benderang agar mereka bisa mendapatkan karunia dari-Nya 'Azza wa Jalla dan bisa mencari penghidupan di dalamnya. Dia Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan siang silih berganti sebagaimana kehidupan yang baru, sehingga setiap hamba akan memperbarui kekuatannya dan menyongsong amalan-amalannya. Oleh karenanya, Dia 'Azza wa Jalla menyebut tidur di waktu malam sebagai kematian sedangkan terjaga di waktu siang sebagai kebangkitan. Dia 'Azza wa Jalla berfirman,

وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُم بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُم بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَى أَجَلٌ مُّسَمًّى ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

"Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari. Kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan." (QS. al-An’am [6]: 60).

Dan di antara rahmat-Nya Subhanahu wa Ta’ala, Dia telah jadikan matahari dan bulan sebagai perhitungan. Pada matahari diketahui perhitungan musim, iklim dan cuaca, sedangkan pada bulan di malam hari diketahui perhitungan penanggalan bulan serta tahun [QS al-An’am [6]: 96]. Sehingga diketahuilah bahwa bilangan bulan dalam setahun ialah dua belas bulan [QS at Taubah [9]: 36].

Di antara kemudahan yang Allah berikan kepada manusia ialah Dia 'Azza wa Jalla telah menetapkan perhitungan penanggalan atas dasar bulan baru yang disebut hilal. Sebab ia merupakan tanda nyata yang nampak jelas dan bisa dipahami oleh seluruh manusia secara khusus maupun secara umum, yaitu dengan melihat hilal di saat Maghrib setelah terbenamnya matahari. Sehingga kapan saja hilal terlihat, maka berarti telah masuk bulan baru dan usailah bulan lalu. Dari sini pula diketahui bahwa awal perhitungan hari dihitung sejak terbenamnya matahari sebagaimana awalnya bulan.

Sekilas Sejarah Penanggalan Islam

Penanggalan Islam di mulai sejak zaman Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiallahu 'anhu. Beliau kumpulkan enam belas atau tujuh belas pemuka sahabat dan bermusyawarah dengan mereka tentang kapan penanggalan Islam diawali. Sebagian mengatakan di awali saja sejak hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian lainnya mengatakan dimulai saja sejak diutusnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi Nabi dan Rasul. Sebagiannya lagi mengatakan dimulai saja sejak hijrahnya beliau ke Madinah. Dan sebagiannya lagi mengatakan dimulai saja sejak wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Akhirnya, beliau radhiallahu 'anhu memilih dan menguatkan permulaan penanggalan Islam sejak hijrahnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Sebab, dengan hijrah ini Allah 'Azza wa Jalla membedakan antara yang haq dengan yang batil. Maka, sepakatlah para sahabat bahwa hari hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai awal penanggalan Islam. Sebab, tahun tersebut juga merupakan tahun terbentuknya umat Islam yang sesungguhnya yang akan memiliki masa depan gemilang. Tahun itu juga merupakan tahun pertama terbentuknya negeri Islam yang mutlak dikuasai oleh kaum muslimin.

Kemudian, para sahabat bermusyawarah lagi tentang pada bulan apa dimulainya tahun. Sebagian mereka mengatakan dimulai dari bulan Rabi’ul Awal, sebab ia merupakan bulan berhijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Sebagian lainnya mengatakan dari bulan Ramadhan, sebab ia merupakan bulan diturunkannya al-Qur’an. Namun, Umar bin Khaththab radhiallahu 'anhu bersepakat bersama Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu bahwa awal tahun dimulai dari bulan Muharram. Sebab, bulan Muharram merupakan bulan yang beriringan dengan bulan Dzulhijjah di mana pada bulan tersebut manusia menunaikan kewajiban terakhir dari rukun Islam, yaitu haji. Selain itu juga, bahwa Muharram beriringan dengan bulan dibaiatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh para sahabat untuk berhijrah. Sehingga bai’at tersebut merupakan permulaan hijrah, maka jadilah bulan Muharram yang lebih tepat untuk menjadi permulaan tahun.

Kemudahan yang Harus Disyukuri

Semuanya adalah kemudahan yang telah Allah 'Azza wa Jalla berikan kepada kita. Maka, kewajiban kita kaum muslimin ialah bersyukur atas nikmat kemudahan ini. Bersyukur atas nikmat perhitungan yang sederhana ini. Allah 'Azza wa Jalla telah menetapkan penanggalan harian dengan kemudahan dari-Nya diawali dengan terbenamnya matahari. Sedangkan penanggalan bulan dimulai dengan terbitnya hilal. Adapun penanggalan tahunan di awali dari tahun hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah sebagaimana yang telah dijalankan oleh kaum muslimin serta telah diperhitungkan oleh para ulama dalam kitab-kitab peninggalan mereka.

Bersyukur atas kemudahan perhitungan waktu tak henti-hentinya terus dilakukan. Sebagaimana waktu itu terus bergulir, maka syukur pun tak boleh berhenti tertinggal digilas waktu.

Sadari Agar Tidak Tertipu Waktu

Kita harus sadar dan tanggap akan waktu. Perhatikan hari-hari dan malam-malam berlalu. Sesungguhnya ia tidak berlalu melainkan sebagai jenjang-jenjang yang telah kita lalui menuju kampung yang sesungguhnya. Ialah kampung akhirat. Sampai suatu saat nanti perjalanan kita akan berakhir ke sana.

Setiap hari yang telah kita lalui, sesungguhnya makin menjauhkan kita dari dunia dan mendekatkan kita ke akhirat. Maka, berbahagialah orang yang sanggup memanfaatkan kesempatannya dengan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Zat Yang Mahaperkasa 'Azza wa Jalla. Berbahagialah hamba yang tersibukkan dengan ketaatan dan menghindar dari setiap kemaksiatan. Berbahagialah setiap hamba yang menyadari setiap kejadian seiring perjalanan waktu berupa silih bergantinya peristiwa dan keadaan. Berbahagialah setiap hamba yang menjadikan setiap peristiwa dan keadaan yang dia dapati sebagai penunjuk jalan menuju pemahaman akan hikmah Allah 'Azza wa Jalla yang jelas serta seluruh rahasia-rahasia-Nya. Dia 'Azza wa Jalla berfirman,

يُقَلِّبُ اللَّهُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لِّأُوْلِي الْأَبْصَارِ

"Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan." (QS. an-Nur [24]: 44)

Perhatikanlah matahari. Bagaimana setiap hari dia terbit dari timur dan terbenam di tempat terbenamnya di arah barat. Sungguh pada terbit dan terbenamnya matahari terdapat pelajaran yang sangat hebat. Terbit dan terbenamnya matahari merupakan tanda bahwa dunia bukanlah kampung kekekalan. Ia hanya terbit dan terbenam lalu menghilang begitu saja.

Perhatikanlah bulan-bulan yang telah berlalu. Berapa kali hilal telah mengiringinya dari berbentuk kecil sebagaimana anak kecil yang dilahirkan, lalu tumbuh berkembang sedikit-demi sedikit sebagaimana tumbuhnya badan. Sehingga apabila telah sempurna pertumbuhannya, mulailah ia berkurang dan melemah. Demikianlah usia kita sebagai manusia pun sama halnya. Maka ambillah ini sebagai pelajaran.

Perhatikanlah tahun-tahun yang telah berlalu. Bagaimana ia silih berganti. Bila tahun lalu telah usai, maka tahun baru pun menyusulnya. Perhatikanlah bagaimana manusia—juga termasuk kita, apabila memasuki tahun baru, kita menatap akhir tahun sangat jauh di ujung sana, namun ternyata hari-hari berlalu dengan sangat cepatnya. Tahun pun akan segera bergulir dengan cepat secepat kedipan mata. Tak disadari ternyata kita telah berada di hari-hari terakhir tahun pada tahun tertentu.

Maka demikianlah usia kita sebagai manusia. Kita merasa usia kita masih terlalu panjang, namun tak kita sadari kita telah berada di depan pintu gerbang kematian. Boleh jadi seseorang berangan-angan dengan usianya yang panjang, sehingga ia bersantai-santai dengan berbagai angan-angan dan cita-citanya itu. Namun tiba-tiba saja ia telah berada di ujung tali angan-angan, sementara bangunan cita-cita telah runtuh. Sebabnya ialah kematian. Allah 'Azza wa Jalla berfirman,

وَجَاءتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ

"Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya." (QS. Qaf [50]: 19)

Di Ujung Tahun

Kita sekarang tengah berada di ujung tahun yang telah menjadi saksi atas kita. Kita sedang menyongsong tahun baru. Apalah kiranya yang hendak kita tinggalkan di tahun yang kan berlalu? Dan dengan apa pula kiranya kita hendak menyongsong tahun baru yang kan datang menjelang? Allah 'Azza wa Jalla berfirman,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُوراً وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
إِنَّ فِي اخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا خَلَقَ اللّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَّقُونَ

"Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui. Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa." (QS. Yunus [10]: 5-6)

Dari sini, hendaknya setiap orang yang berakal segera muhasabah, introspeksi diri. Perhatikan apa yang telah ditinggalkannya di tahun yang kan berlalu ini. Apabila ia telah menyia-nyiakan beberapa kewajibannya terhadap Allah 'Azza wa Jalla, segeralah bertaubat kepada–Nya 'Azza wa Jalla. Segeralah untuk berusaha mengejar dan mendapatkan sesuatu yang tersia-siakan tadi. Apabila ternyata ia menzhalimi diri sendiri dengan berbagai maksiat dan hal-hal yang haram, segeralah meninggalkannya sebelum datang saat malaikat maut menjemput. Dan apabila ia termasuk orang-orang yang dianugerahi Allah 'Azza wa Jalla istiqamah, hendaknya ia banyak memuji-Nya atas karunia-Nya dan hendaknya dia memohon keteguhan sampai mati.

Maka demikianlah. Tahun yang berlalu tidak sekadar sebagai kenangan. Tahun baru yang kan tiba bukan untuk disambut dengan perayaan. Namun berlalunya tahun lama mengingatkan kita akan apa yang telah kita tinggalkan, sedangkan tahun baru disambut dengan iman, dengan taubat dan istighfar, lalu istiqomah di atas jalan keridhaan Allah 'Azza wa Jalla.

Iman bukanlah sekadar angan-angan kosong. Iman juga bukan sekadar hiasan bibir. Taubat pun bukan sekadar ucapan lisan tanpa usaha membersihkan diri. Iman itu ialah sesuatu yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan oleh amalan. Sedangkan taubat ialah penyesalan atas apa yang telah berlalu dari berbagai kekurangan. Taubat ialah segera menjauhi dan meninggalkan dosa-dosa. Taubat ialah kembali kepada Allah 'Azza wa Jalla dengan usaha memperbaiki amalan. Taubat ialah rasa senantiasa diawasi oleh Allah 'Azza wa Jalla Zat Yang Maha Mengetahui seluruh keghaiban. Itulah taubat. Selagi masih ada waktu dan terbentang kesempatan, maka apalagi yang menghalangi untuk segera bertaubat?

Nasihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

Berbagai potensi kebaikan telah dikaruniakan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita. Masa muda, keadaan sehat wal afiyat, hidup berkecukupan, terbentangnya waktu dan kesempatan serta masa-masa dalam kehidupan adalah sebesar-besar potensi kebaikan. Di masa muda terdapat kekuatan dan keteguhan. Apabila seseorang telah lanjut usia, melemahlah kekuatannya dan lunturlah keteguhannya. Dalam kesehatan terdapat semangat dan kerajinan. Apabila seseorang sakit, mengendurlah semangatnya dan melemahlah kerajinannya, sehingga sempitlah jiwanya, beratlah rasanya untuk beraktivitas dan beramal.

Dalam kecukupan terdapat kelonggaran. Apabila seseorang telah ditimpa kemiskinan, ia akan disibukkan dengan kegiatan mencari penghidupan untuk diri dan tanggungannya. Adapun dalam kehidupan terdapat lapangan yang sangat luas untuk melakukan seluruh amalan shalih. Apabila seseorang telah mati, terputuslah kesempatannya beramal. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala menasihati seorang sahabat, beliau bersabda,

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

Mengaislah kebaikan pada lima keadaan sebelum datang lima keadaan: pada masa mudamu sebelum datang masa tuamu, pada masa sehatmu sebelum datang sakitmu, pada masa cukupmu sebelum datang kefakiranmu, pada kesempatanmu sebelum datang kesibukanmu, dan pada hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Hakim 7846, beliau mengatakan: “Hadits ini shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim, namun beliau berdua tidak meriwayatkannya.” Dishahihkan juga oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib no. 3355)

Oleh karenanya, hendaklah diperhatikan umur usia kita. Hendaklah ditimbang-timbang antara yang tersisa dan yang telah berlalu. Sesungguhnya yang akan datang itu sangat cepat kehadirannya, sedangkan yang telah berlalu tak lagi sanggup kita menggapainya. Sementara apa yang ada sekarang ini mungkin saja dan pasti akan sirna sesaat atau dua saat waktu yang tak tertentu. Yang demikian itu agar kita bersegera beramal shalih sebelum sesuatu yang sekarang ada ini akan sirna dan tak tersisa.

Wallahul muwaffiq.

*Nasihat ini diramu penulis dari dua khutbah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu ta’ala dalam adh-Dhiya’ul Lami’ minal Khithobil Jawami’.

Penulis: Ustadz Abu Ammar Al-Ghoyami
Artikel www.PengusahaMuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


“Menjadi Pondok Pesantren Yang berkemampuan global dalam dakwah Islam sehingga mendorong Umat Islam dan umat manusia pada umumnya memiliki kehidupan Yang sejahtera berbasis agama, kejujuran, amanah, hemat dan kerja keras, rukun,kompak serta dapat bekerjasama dengan baik”.