Upaya
dalam mencari ilmu dan kefahaman
Firman
Allah SWT:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ
لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ
مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (سورة الحديد:16)
Artinya: Adakah belum datang
waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyu’ (tunduk) hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan
janganlah mereka seperti orang-orang yang diberi Al-kitab sebelumnya (taurat,
injil), kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka
menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasiq.
Kesempatan bagi para pemuda untuk mendapatkan ilmu
sebanyak-banyaknya
masih sangat luas. Banyak ulama’ shalihin yang mengajarkan Al-Qur`an dan Al-Hadits secara manqul musnad muttashil masih berada di tengah-tengah kita. Dan mereka siap
untuk menyampaikan ilmu tersebut, hendaknya kesempatan ini dimanfaatkan
sebaik-baiknya sehingga para pemuda menjadi orang yang ‘alim dan faqih.
Para pemuda sebagai generasi penerus perlu bertanya
kepada dirinya sendiri; seberapa banyakkah Al-Qur`an dan Al-Hadits yang sudah dikaji? Sebagai generus yang
bertanggung jawab tentu akan berupaya untuk sungguh-sungguh mendapatkan ilmu
yang sebanyak-banyaknya. Syukur-syukur
bisa mengkhatamkan Al-Qur`an (bacaan,
makna, keterangan) ditambah dengan qiro`ah
sab’ahnya dan Hadits Kutubussittah. Khatam yang bukan sekedar
khatam, namun benar-benar dapat memahami ilmu secara mendalam. Sehingga juga
berhasil menjadi orang yang alim dan faqih sebagaimana para pendahulunya dan
pada saatnya nanti bisa melanjutkan perjuangan agama Allah yang haq ini.
Seorang
yang alim dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits memiliki kemampuan:
1- Membaca
Al-Qur`an dan Al-Hadits dengan fasih dan benar
2- Mengerti
makna dan keterangan Al-Qur`an dan Al-Hadits
3- Memahami
ayat-ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits, sehingga dapat mengistinbathkan
(mengeluarkan) hukum dan dapat menempatkan pada tempatnya serta memahami
pengertian-pengertian lainnya sesuai dengan yang sebenarnya.
4- Menghayati
prinsip-prinsip kebenaran Al-Qur`an dan Al-Hadits secara teori dan praktek
sehingga bisa mengamalkannya secara benar
Sedangkan
seorang yang faqih adalah orang ‘alim yang mengamalkan ilmunya.
Sebagai
usaha untuk menjadi orang yang yang alim dan faqih adalah:
1.1. Tertib dan hobi mengaji Al-Qur`an dan
Al-Hadits.
Seiring dengan perkembangan , akhir-akhir ini sering
terjadi mengaji hanya sebatas sebagai pengetahuan, menggugurkan kewajiban,
kegiatan rutin, bukan dijadikan sebagai sarana dan kebutuhan untuk meningkatkan
kefahaman serta keimanan, bahkan ada juga yang mencari ilmu hanya untuk
bangga-banggaan tidak untuk diamalkan. Hal ini adalah merupakan kesalahan yang
tidak boleh dibiarkan berlanjut tetapi harus diluruskan agar menjadi benar serta
dinasehatkan agar di dalam mengaji benar-benar bisa karena Allah dalam rangka
melaksanakan kewajiban serta mempunyai harapan dapat meningkatan kefahaman dan
menambah keimanan.
Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ يُرِدِ
اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ ، وَإِنَّمَا الْعِلْمُ
بِالتَّعَلُّمِ (رواه البخارى في كتاب العلم)
Artinya: Barangsiapa
yang Allah menghendaki baik padanya, maka Allah akan memahamkannya dalam urusan
agama, dan sesungguhnya ilmu hanya didapatkan dengan belajar (mengaji)
يَاأَيُّـهَا
النَّاسُ إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَالْفِقْهُ بِالتَّفَقُّهِ وَمَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَإِنَّمَا يَخْشَى اللهَ
مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُ * رواه الطبرانى
Artinya: Wahai manusia sesungguhnya ilmu hanya didapatkan dengan
belajar (mengaji) dan faham agama itu hanya diperoleh dengan mencari kefahaman.
Dan barangsiapa yang Allah menghendaki baik padanya, maka Allah akan
memahamkannya dalam urusan agama, dan sesungguhnya yang takut kepada Allah hanya
hamba-hamba Allah yang berilmu.
Sebagai
orang Jama’ah, dalam mengaji harus bisa memahami bahwa yang dikaji adalah
firman Allah (wahyu Allah) dan sunah Rasulullah SAW yang merupakan polnya ilmu.
Sehingga dalam mengaji harus mencerminkan sikap yu’azhim sya’airullah,
diantaranya: meletakkan kitab pada tempat yang layak, duduk dengan sopan, ta`zhim
kepada ustadz, mendengarkan dengan penuh perhatian dan menghayati secara
mendalam terhadap ayat-ayat atau hadits yang sedang diterangkan oleh
mubaligh-muballighotnya. Apabila belum jelas minta diulangi keteranganya
sehingga benar-benar mengerti dan faham terhadap isi dari Al-Qur`an dan
Al-Hadits yang telah dikajinya. Jangan sampai pada waktu mengaji ngobrol dengan
temannya, sibuk bermain HP, melamun, mengantuk, tidur, saur manuk,
menulis/mencoret-coret yang tidak ada hubungannya dengan yang dikaji,
meremehkan ustadznya, sehingga tidak memperoleh kefahaman dan tidak menambah
keimanan.
Mengaji supaya dijadikan hobi bagi satu-satunya jama’ah,
karena dengan mengaji kita akan bertambah ilmu, mengetahui haq dan batal, benar
dan salah, halal dan harom sehingga akan menambah kefahaman dan keimanan bagi
satu-satunya jama’ah. Firman Allah :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ
إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُه
زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ * سورة
الأنفال 2
Artinya: Sesungguhnya yang disebut sebagai
orang iman itu adalah orang-orang yang ketika disebut nama Allah maka tergetar
hatinya dan ketika dibacakan atas mereka ayat-ayat Allah maka tambah imannya
dan terhadap tuhannya mereka berserah diri.
Dari
dalil-dalil diatas dapat disimpulkan bahwa adalah suatu kesalahan jika seseorang
merasa sudah faham tanpa menertibkan mengaji. Dengan tidak tertibnya seseorang
dalam mengaji itu menunjukkan bahwa kefahaman seseorang itu rendah. Oleh karena
itu jama’ah harus berusaha untuk bisa rajin dan tertib dalam mendatangi
pengajian karena kefahaman tidak mungkin didapat tanpa menertibkan mengaji.
Jika kurang mengaji, maka kita akan menjadi bodoh dan tidak faham agama karena
tidak bisa membedakan antara yang haq dan batal, benar dan salah, halal dan
harom sehingga mudah terpengaruh godaan syetan.
1.2. Memperbanyak mendengarkan nasehat agama dan
juga mau memberikan nasehat.
Allah berfirman :
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرى تَنْفَعُ
الْمُؤْمِنِيْنَ (سورة الذاريات 55)
Artinya: Dan peringatkanlah Muhammad, maka
sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.
Sehingga
bagi orang iman jika menerima nasehat akan bermanfaat dan tambah kefahamannya,
sebaliknya apabila tidak mau menerima nasehat (berpaling) berarti termasuk
orang yang sombong diancam masuk neraka, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى
قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ ... الحديث (رواه مسلم عن عبد الله بن مسعود)
Artinya: Tidak akan masuk
surga seseorang yang ada dalam hatinya seberat semut dari kesombongan.
Firman Allah :
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِى فَإِنَّ
لَه مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُه يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمى * سورة طه 124
Artinya:Barangsiapa yang berpaling dari
peringatanKu, maka sesungguhnya bagi dia kehidupan yang sempit (di dunianya)
dan akan Kami kumpulkan dia di hari kiamat dalam keadaan buta.
Dengan
sering mendengarkan nasehat, kita akan selalu mendapatkan penerangan dan
peringatan ke jalan yang benar. Jika langkah kita sudah benar maka dengan
nasehat itu kita bisa tambah yakin dan bisa bersyukur, karena kita sudah di
dalam kebenaran. Jika langkah kita salah,
maka dengan nasehat itu kita jadi ingat dan bisa memperbaiki setiap kesalahan
kita serta bisa bersyukur bahwa kita selalu mendapatkan pencerahan untuk menuju
pada kebenaran.
1.3. Banyak bergaul dengan orang yang shalih.
Dengan banyak bergaul dengan orang yang shalih kita bisa
termotivasi untuk meniru keshalihannya. Jika kita didapati melakukan kesalahan,
akan diingatkan atau paling tidak kita akan merasa malu untuk berbuat kejelekan
karena berada di lingkungan orang yang shalih. Akan tetapi jika kita bergaul
dengan orang yang tidak shalih, jangankan dinasehati jika salah, bahkan kita
akan diajak untuk mengerjakan pada kemaksiyatan.
Ingat Sabda Rasulallah SAW:
مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيْسِ السُّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ
الْمِسْكِ وَكِيْرِ الْحَدَّادِ لاَ يَعْدِمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا
تَشْتَرِيْهِ أَوْ تَجِدُ رِيْحَهُ وَكِيْرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ
ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيْحًا خَبِيْثَةً * رواه البخارى في كتاب البيوع
Artinya: Perumpamaan teman bergaul yang sholih dan teman bergaul yang jelek adalah
sebagaimana penjual minyak wangi dan ubupan (perapian) pandai besi. Penjual
minyak wangi tidak akan melewati padamu, adakalanya kamu akan membeli minyak
wangi itu darinya, atau (paling tidak) kamu akan mendapatkan bau wanginya. Dan
(sedangkan) pandai besi akan membakar badanmu atau pakaianmu atau (paling
tidak) akan kamu dapatkan bau sangitnya.
الرَّجُلُ عَلَى
دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ (رواه أبو داود في كتاب الأدب حسن)
Artinya: Seorang
laki-laki itu menetapi kebiasaan teman dekatnya, maka hendaklah ia melihat
siapa yang menjadi teman dekatnya.
Oleh karena itu menentukan teman bergaul adalah sangat penting, karena
sebagian waktu kita berada di sisi teman pergaulan kita. Sedangkan manusia ada
kelemahan untuk mudah mengikuti sesuatu yang cenderung melanggar daripada
mengikuti hal-hal yang baik. Dengan banyak bergaul dengan orang iman yang faham
dan sholih, maka walaupun kita tidak bisa belajar ilmu kepadanya, paling tidak
sebagian waktu kita akan banyak disibukkan dengan hal-hal yang baik dan mengurangi
waktu-waktu untuk lahan dan melanggar sehingga akan menambah mantapnya
kefahaman dalam BERAGAMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar